photo wishlist_zps2544b6d7.png

Thursday, October 22, 2015

Book Review: Pulang by Tere Liye

.
BOOK review
Started on: 30.September.2015
Finished on: 15.October.2015

Judul Buku : Pulang
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 404 Halaman
Tahun Terbit: 2015
Harga: Rp 55,250 (http://www.pengenbuku.net/)

Rating: 4.5/5
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Akhirnya aku paham apa yang diserukan Bapak ketika berdebat dengan Mamak saat hari keberangkatanku ke kota. Darah tukang pukul memang mengalir deras dalam tubuhku. Itu seperti sudah menjadi takdir hidupku."
Pada usia 15 tahun, Bujang bertemu dengan seorang lelaki yang dipanggil Tauke Muda oleh ayahnya, Samad. Lelaki itu datang untuk berburu babi hutan bersama sekelompok orang; dan Bujang mendapat kesempatan untuk ikut serta meskipun pada awalnya Mamak tidak mengizinkan. Dan malam itu, Bujang tidak lagi mengenal rasa takut saat ia menghadapi seekor babi hutan yang besar dengan sebuah tombak. Setelah malam itu, Bujang pergi meninggalkan tanah kelahirannya di lereng Bukit Barisan untuk pergi mengikut Tauke Muda ke Provinsi bahkan hingga ke Ibu Kota—di mana ia disebut sebagai Si Babi Hutan, tukang pukul paling hebat Keluarga Tong.

"Aku baik-baik saja. Tapi aku baru menyadari sesuatu. Pagi itu, aku baru tahu bagaimana rasanya membunuh. Tidak hanya satu, melainkan enam sekaligus. Membunuh mereka tanpa ampun."
Perjalanan hidup Bujang menjadi tukang pukul paling hebat tidak selalu berjalan dengan mudah, karena pada awalnya Tauke memaksanya untuk belajar dan bukan menjadi tukang pukul seperti yang ia harapkan. Dengan bantuan Kopong, kepala tukang pukul Keluarga Tong, Bujang mendapat kesempatan untuk melatih kemampuannya sebagai tukang pukul di saat ketika ia tidak belajar. Sepanjang 20 tahun tinggal bersama Keluarga Tong, Bujang juga mendapatkan Basyir sebagai sahabat. Kini saat Bujang berusia 35 tahun, Keluarga Tong telah berhasil menjadi penguasa shadow economy dan sebagai hasilnya, banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Dan pada puncaknya, Bujang harus kembali merasakan rasa takut yang selama ini ia duga sudah sepenuhnya terhapus dari dalam dirinya.
"Aku sudah terlatih hidup dengan dua sisi. Satu sisi terlihat terang dan dikenali sebagai Bujang, mahasiswa master dua program studi. Satu sisi lagi gelap, tidak ada yang tahu bahwa aku adalah Si Babi Hutan, tukang pukul keluarga Tong. Aku menyukai dua sisi itu, menikmati transisi saat menjadi sosok terbuka, ramah, dan bersahabat dengan orang banyak, untuk kemudian berdiri di bawah bayangan, menatap sekitar—tanpa mereka tahu aku sedang memerhatikan banyak hal."
image source: here. edited by me.
Aku sangat bersemangat saat tahu Tere Liye akan merilis buku ini. Selain karena ia adalah salah satu penulis lokal favoritku, sinopsisnya yang terdengar sarat emosi berhasil menarik perhatianku. Dari sinopsisnya, aku mengira bahwa ceritanya akan berkisar pada kisah keluarga—namun ternyata buku ini jauh lebih rumit daripada itu. Dengan alur cerita yang maju mundur dan diceritakan dari sudut pandang pertama Bujang, aku mungkin bisa menyebut buku ini sebagai sebuah kisah anti-heromengingat karakter utamanya yang abu-abu. Alurnya bergerak maju mundur dan banyak menyelipkan potongan masa lalu Bujang saat ia berusia 15 tahun hingga ia beranjak ke masa sekarang saat ia berusia 35 tahun. Dengan alur maju mundur seperti ini, pembaca dapat dengan jelas mengikuti perjalanan hidup Bujang serta perubahan karakter yang ia alami dalam tahun-tahun tersebut. Selama membaca buku ini, sebenarnya ada saat ketika aku bertanya-tanya apa sebenarnya konflik utama cerita ini. Namun setelah aku pikir lagi, aku rasa ceritanya berpusat pada karakter Bujang dan dunia seperti apa yang ia geluti sebagai tukang pukul Keluarga Tong. Tone ceritanya agak serupa dengan buku Tere Liye yang terdahulu, Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk; terutama dengan adanya beberapa adegan aksi yang cukup menegangkan. Aku juga sempat bingung dengan arah yang dituju oleh ceritanya, namun semakin lama semuanya menjadi jelas; bahwa selain tentang pekerjaan Bujang, kisah ini juga adalah tentang perjalanan emosi lelaki yang tidak punya rasa takut itu. Menjelang akhir ceritanya ada plot twist yang mengejutkan sekaligus tidak terduga, dan aku sangat suka itu. Meskipun eksekusi ending-nya cukup klise, aku masih menikmati keseluruhan ceritanya dengan baik. Dan tentunya ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah hidup Bujang ini :)
"Itu perjalanan yang tidak mudah, Bujang. Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu. Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja."
Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, karakter utama cerita iniBujang—bisa jadi adalah seorang karakter anti-hero karena pekerjaan yang ia lakukan. Jika dilihat dari sudut pandang Bujang sendiri, tentu saja tidak ada yang salah dengan apa yang ia kerjakan. Tetapi dari sisi lain, Bujang seringkali harus membunuh ataupun mengancam demi mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh Keluarga Tong. Meskipun Bujang dan anggota Keluarga Tong yang lain akan terlihat kejam di mata orang-orang awam, melihat kesetiaan dan perhatian yang ada di antara mereka benar-benar menghangatkan hatiku. Hal tersebut memberiku sebuah perspektif baru bahwa organisasi yang gelap sekalipun juga memiliki kisahnya sendiri.

Karakter favoritku dalam buku ini mungkin adalah Salonga, guru menembak Bujang. Salah satu adegan favoritku juga adalah momen mengharukan antara Bujang dan Salonga. Salonga adalah penembak yang luar biasa hebat dan aku sangat menyukai filosofi yang diajarkannya selama pelajaran menembak. Selain itu, ada beberapa momen mengharukan lain yang terjadi dalam ceritanya; salah satunya adalah saat Bujang berhasil membuktikan dirinya dengan melakukan tugas pertama yang ia dapatkan dari Tauke—momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh Bujang. Tentu saja aku tidak akan menuliskan semuanya di sini agar tidak memberikan terlalu banyak spoiler bagi yang belum membacanya :)
"Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus. Pada hari ke berapa dan pada jam ke berapa kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan."
Membaca buku ini membuatku seolah benar-benar mengenal sosok Bujang serta dunia yang ia geluti; dan lewat karakter ini aku juga diingatkan tentang banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan. Secara keseluruhan, buku ini cukup menegangkan dari awal hingga akhir dan kisahnya yang sarat emosi berhasil membuatku bersimpati dengan karakternya. Sebenarnya aku ingin sekali memberi rating 5 untuk paruh pertama buku ini, namun sayangnya menurutku paruh kedua ceritanya berjalan agak sedikit lambat untukku. Oleh karena itu pada akhirnya aku memutuskan untuk memberi buku ini rating 4.5. Meski demikian, tentunya aku akan selalu menantikan karya terbaru Tere Liye yang selanjutnya. Dan semoga bisa terus menerbitkan buku yang akan menjadi inspirasi serta motivasi bagi pembaca :)
"Sepanjang kita mau melihatnya, maka kita selalu bisa menyaksikan masih ada hal indah di hari paling buruk sekalipun."
"Ketahuilan, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran."
by.stefaniesugia♥ .

3 comments:

  1. Kayaknya bagus banget nih.. Thx review nya ;)

    ReplyDelete
  2. Awalnya aku juga mengira novel ini akan bercerita tentang pencarian jati diri atau pergolakan hidup seperti Rembulan Tenggelam di Wajahmu atau Rindu. Tapi seperti yang sudah kau katakan, novel ini memang lebih mirip dengan serial Negeri Para Bedebah. Lebih banyak menceritakan adegan pertempuran yang seru.

    Tapi Tere Liye tetaplah Tere Liye, mau genre apapun, selalu ada pesan kehidupan yang terselip di dalamnya. Sebuah nasihat sederhana yang mungkin kita sama sekali tidak menyadarinya.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...