photo wishlist_zps2544b6d7.png

Friday, June 28, 2013

Book Review: Melbourne: Rewind by Winna Efendi

.
BOOK review
Started on: 18.June.2013
Finished on: 23.June.2013

Judul Buku : Melbourne: Rewind
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 340 Halaman
Tahun Terbit: 2013
Harga: Rp 44,200 (http://www.pengenbuku.net/)

Rating: 5/5
#PostingBareng BBI Juni 2013 (Romance)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Buat gue, perasaan paling nggak enak sedunia adalah sesal. Apa pun yang lo lakukan, lo nggak akan bisa menekan tombol rewind untuk kembali ke momen saat segalanya berubah. Lo nggak akan bisa naik mesin waktu atau memutarbalikkan jarum jam untuk kembali ke masa itu, untuk memperbaiki kesalahan yang lo perbuat, atau mengembalikan keadaan seperti sebelumnya."
Max kembali ke Melbourne setelah bertahun-tahun pergi meraih impian dan kecintaannya terhadap cahaya. Lima tahun Max telah berpisah dengan mantan kekasihnya, Laura, dan setelah waktu yang panjang itu ia memutuskan untuk kembali ke tempat mereka bertemu. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Max pergi menemui Laura di tempat kerjanya - kembali bertemu dengan wanita yang amat ia rindukan. Meskipun kisah cinta mereka telah berakhir lima tahun yang lalu, keduanya mengobrol seolah teman lama - membicarakan kisah-kisah lama seperti sedang memutar mundur kehidupan mereka.

"Apa yang harus kau katakan pada seseorang yang sudah lima tahun menghilang dari hidupmu? Bagaimana kalian harus bicara - apakah santai dengan panggilan lama yang masih melekat, atau secara formal seakan baru pertama kali bertemu? Bagaimana mendefinisikan hubungan kalian sekarang, teman, mantan, kenalan, atau justru orang asing?"
Tanpa keduanya sadari, mereka secara alami kembali pada kebiasaan mereka yang lama; duduk di sebuah bar bernama Prudence berdua, di tempat favorit mereka, sambil membicarakan tentang apapun: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bahkan Max selalu menjemput Laura pulang seusai jam kerjanya yang selalu selesai larut malam, menghabiskan berjam-jam bersama. Meskipun Max tahu ia telah melukai Laura lima tahun silam, ia tidak dapat memungkiri bahwa Laura adalah satu-satunya perempuan yang ia cintai - bahkan setelah mencoba memulai hubungan baru dengan orang lain.

Namun sepertinya hanya Max yang merasa demikian. Cecily (teman baik Laura) memperkenalkan kekasihnya yang adalah seorang dokter hewan bernama Evan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Cecily yakin Laura akan menyukai kekasihnya yang satu ini, dan memang itulah kenyataannya. Laura mempunyai kecintaan khusus terhadap lagu-lagu yang tidak biasa - dan Evan pun demikian. Tidak jarang Laura ikut serta dalam kencan Cecily dan Evan; bahkan Cecily pernah membiarkan mereka pergi ke konser berdua. Lewat pertemuan-pertemuan singkat dan obrolan yang menyenangkan, Laura mempunyai perasaan terhadap Evan yang ia sendiri tidak bisa jelaskan.
"Gue percaya konsep belahan jiwa, tapi gue nggak percaya bahwa kebahagiaan kita cuma ada sama satu orang. Dalam hidup ini, lo nggak selalu bisa dapetin apa yang lo mau, orang-orang yang lo sayang nggak selalu punya perasaan yang sama. Karena itulah gue percaya, akan selalu ada orang-orang lain yang bisa memberikan bentuk kebahagiaan lain... Tapi, siapa yang bisa mengukur takaran kebahagiaan sesungguhnya? Kita bahagia dengan apa yang kita punya, itu udah cukup. Happiness is a matter of perspective."
Max amat mengenal Laura, dan ia tahu gadis itu tertarik kepada Evan - tetapi dihadapkan dengan dilema bahwa lelaki itu adalah pacar sahabatnya sendiri. Di tengah kecemburuan dan rasa kesalnya terhadap perasaan Laura, Max mengungkapkan segalanya. Ungkapan perasaan yang tak sanggup ia redam lagi. Namun hal tersebut malah membuat Laura menjauh darinya; membuat Max kembali teringat masa-masa ia kehilangan perempuan yang paling ia cintai. Seandainya kehidupan bisa di-rewind dan Max dapat kembali ke masa itu; ia akan memperbaiki semua kesalahannya, mengambil keputusan yang berbeda, sehingga ia tidak perlu kehilangan Laura.
"Ada sesuatu yang berubah malam itu, sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti kami dari dalam, sesuatu seperti perasaan yang tak terbalas, dan hati yang retak. Juga pengertian di antara kami berdua - akan rasa-rasa yang nggak terucapkan, tapi telah dimengerti.
Someday we'll know."
Baca kisah selengkapnya di Melbourne.
image source: here. edited by me.
Buku terakhir Winna Efendi yang aku baca sebelum ini adalah Unforgettable; buku itu tergolong cukup tipis sehingga aku merasa kurang puas dan ingin menikmati tulisannya lebih lama lagi. Terbitnya Melbourne membuatku amat senang dan rasanya seperti melepas rindu dengan tulisan Winna Efendi yang selalu romantis dan terkesan puitis. Alur penulisannya pun selalu mengalir dengan baik dan chemistry antar karakternya terasa begitu kuat untukku. Meskipun aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan buku ini (karena kesibukan yang lain), aku menikmati setiap momen ceritanya. Bahkan saat ceritanya sudah berakhir, rasanya aku masih tidak rela berpisah dengan duo Max dan Laura ini :)

Ditulis dengan sudut pandang dua karakter utamanya: Max dan Laura, Melbourne dibagi menjadi empat bagian: Rewind, Pause, Play, dan Fast-Forward. Dimulai dari pertemuan kembali antara Max dan Laura, yang me-rewind tentang masa lalu mereka, bagaimana hubungan mereka dulu. Alur cerita ini, seperti yang sudah aku bahas di ringkasan cerita sebelumnya, adalah tentang sepasang mantan kekasih, yang kembali bertemu sebagai teman; tetapi Max masih menyimpan perasaan khusus, sedangkan Laura merasa nyaman hanya dengan menjadi teman. Dan tentu saja tidak lupa dengan kemunculan 'saingan' dalam hubungan mereka berdua. Meskipun tidak terlalu banyak konflik atau naik-turunnya cerita, aku sangat menikmati keseluruhan ceritanya. Masing-masing Max dan Laura menceritakan perasaan mereka, dan terselip masa-masa manis mereka dulu. Potongan masa lalu yang serasa di rewind itu membuatku merasa sangat mengenal kedua karakternya dan juga ikut masuk dalam pergolakan emosinya. Sepanjang membaca kisah ini, yang membuatku penasaran adalah apa yang membuat mereka putus jika keduanya begitu mencintai satu sama lain? Hal itu terasa seperti misteri yang disembunyikan, dan baru diungkapkan pada akhirnya :) Dan endingnya? Menurutku ending kisah ini adalah salah satu ending paling romantis yang pernah aku baca. Karena terkadang memang tidak butuh kata untuk mengungkapkan (no more spoiling).
"Kenyataannya, aku merasa nyaman bersama Max. Bebas berpendapat, saling mencela, menjadi diri sendiri. Kupikir semua itu akan berubah seiring waktu karena kami bukan lagi orang yang sama seperti beberapa tahun lalu... But some things never change, seperti halnya kami selalu memesan jenis minuman yang sama, dan bagaimana kami selalu berjalan menuju baris kursi penonton paling atas setiap kali di bioskop. Seperti halnya kami tahu apa yang membuat satu sama lain tertawa, senang, sedih, dan kesal."
"Nyaman adalah berbagi waktu tanpa perlu merasa canggung. Nyaman adalah menikmati keberadaan masing-masing, walau yang dapat kami berikan kepada satu sama lain hanyalah kehadiran itu sendiri... Nyaman adalah meneleponnya tanpa alasan, hanya karena ingin mengobrol, atau karena ada film baru yang ingin kutonton, tapi tidak punya teman untuk diajak. Rasa ini tidak perlu dilabeli, diartikan, atau dianalisis."
Dibanding memilih karakter favoritku dari cerita ini, aku sampai saat ini masih terpukau dengan chemistry yang terasa alami antara Max dan Laura. Lewat untaian kata yang ditulis oleh Winna Efendi dari sudut pandang karakternya, aku bisa merasakan bagaimana keduanya merasa sangat nyaman dengan satu sama lain. Aku rasa dibandingkan dengan kisah cinta yang dibumbui terlalu banyak kalimat romantis yang cheesy, jenis hubungan Max-Laura adalah impianku (jika aku mempunyai pasangan nantinya :p). Seperti mereka yang selalu duduk di Prudence, mengerjakan pekerjaan masing-masing tetapi merasa nyaman hanya dengan keberadaan pasangan kita - menurutku itu adalah hal kecil yang sangat manis. Dalam cerita ini juga tidak ada peran antagonis, semua karakternya menyenangkan, termasuk Cecily dan Evan. Meskipun mereka memang tidak terlalu menonjol dalam ceritanya, tetapi Cecily dan Evan punya peran tersendiri dalam pergerakan alur ceritanya :)

Overall, aku sangat menikmati kisah romantis di Melbourne ini - bisa dikatakan buku ini menjadi karya Winna Efendi favoritku :) Bahkan setiap pilihan lagu yang potongan liriknya menjadi pembuka sebuah bab adalah sentuhan yang manis untuk ceritanya - terlebih lagi karena lirik lagunya berbicara tentang emosi yang berhubungan dengan alur. Momen-momen yang diciptakan oleh Winna Efendi terasa begitu nyata, didukung dengan penulisannya yang apik dan mengalir dengan baik. Aku tidak akan pernah bosan dengan tulisan Winna Efendi, dan terus menantikan karya terbarunya yang akan datang :) Thumbs up!
"He wanted to take his love back from her so badly.
The old techniques didn't work anymore.
In fact, they'd never worked.
How do you stop loving someone?
It was one of the world's most brutal mysteries.
The more you tried, the less it worked.
-Ann Brashares."
by.stefaniesugia♥ .

3 comments:

  1. aku udah lama belum baca Winna Effendi lagi hehe..
    salam kenal..

    #KilasBukuBlogWalking

    Dila
    Kilasbuku.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Seri traveling ini menarik ya, cover maupun ceritanya :) Kebayang rasanya jadi Max huhu...penasaran juga sama endingnya :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...