photo wishlist_zps2544b6d7.png

Tuesday, August 9, 2022

Book Review: Di Tanah Lada by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

.
BOOK review
Started on: 29 July 2022
Finished on: 1 August 2022
 
 
Title: Di Tanah Lada
Author: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Pages: 252 pages
Year of Publication: 2015
Price: Rp 66,000 (https://www.gramedia.com/)

Rating: 3/5
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Tanah lada. Kupikir, kalau aku terlahir di sini, mungkin aku akan tumbuh bersama kebahagiaan." 
Salva—yang dipanggil Ava, tinggal bersama Papa dan Mama-nya; namun Papa-nya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Mereka sekeluarga pindah ke Rusun Nero sejak Kakek Kia meninggal. Ava memperoleh sebuah kamus sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketiga dari Kakek Kia. Sejak saat itu, Ava selalu mencari arti dari kata-kata yang tidak ia pahami dan menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan seorang anak laki-laki bernama P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang tidak terduga.
 
"Tapi mereka tidak mengerti. Jadi, aku menangis. Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti kalau aku juga punya kepentingan. Kalau aku juga punya sesuatu yang ingin kuselamatkan.
Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa."
Sebenarnya sudah cukup lama aku ingin membaca buku karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tapi akhirnya baru kesampaian sekarang. Setelah mendapat rekomendasi dari banyak orang, aku memutuskan untuk membaca Di Tanah Lada sebagai pilihan pertamaku. Waktu selesai membaca buku ini, aku jadi mengerti kenapa banyak orang mengatakan bahwa gaya berceritanya unik. Aku pribadi cukup menikmati gaya penulisannya dan buku ini berhasil membuatku ingin membaca karya Ziggy yang lain. Hanya saja, ada momen ketika aku merasa alur ceritanya terasa agak datar dan tidak ada perkembangan cerita yang signifikan. Walaupun sampul bukunya terlihat imut dan menyenangkan, tema yang diangkat oleh buku ini tidaklah demikian karena menyangkut kekerasan anak—topik yang akan membuat pembaca merasa miris dan iba terhadap karakter utamanya.
"Puisi ini secantik itu, sampai bangsa lain menuliskannya di tanah mereka. Sedih. Penuh penderitaan. Tapi, tegar. Persis seperti kamu."
"Nggak setiap saat, orang-orang menangis karena mereka sedih. Kadang-kadang, mereka menangis karena mereka sangat senang. Seperti sekarang. Aku menangis karena aku senang. Aku nggak pernah menangis karena senang, sebelumnya."
Buku ini ditulis dari sudut pandang pertama karakter utamanya, Ava, seorang gadis kecil berusia 6 tahun. Inilah yang membuat gaya berceritanya jadi unik karena pembaca juga ikut melihat situasi berdasarkan kacamata seorang anak yang masih polos dan menjelaskan segala sesuatu dengan apa adanya. Salah satu barang berharga Ava adalah kamus yang ia peroleh dari kakeknya, dengan kamus itulah ia mempelajari banyak kosakata baru dan membantunya memproses kejadian yang terjadi di sekelilingnya. Melalui ceritanya, pembaca akan langsung memahami bahwa Papa adalah sosok yang menakutkan bagi Ava karena sering berkata kasar dan membuat Mama menderita. Keputusan Papa-nya untuk pindah ke Rusun Nero yang kumuh hanya supaya bisa tinggal dekat dengan kasino juga terdengar sangat tidak masuk akal, bertindak seenaknya sendiri tanpa memikirkan keluarganya. Di tengah semua kekacauan yang terjadi, Ava bertemu dengan sosok P—anak laki-laki berusia 10 tahun yang baik hati menolongnya di saat ia sendirian. Di situlah pertemanan mereka bermula, berbagi cerita tentang hubungan keluarga yang pelik dan perasaan keduanya tentang kehidupan. Aku tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang alurnya supaya tidak spoiler bagi yang belum baca, tapi yang jelas ending-nya sangat tidak terduga dan membuatku bertanya-tanya saat tidak ada lagi halaman yang bisa dibaca đŸ„Č.
 
Salah satu hal yang paling membuatku sedih adalah ketika melihat Ava dan P tumbuh menjadi anak yang skeptis, termasuk kesimpulan yang mereka ambil bahwa semua Papa di dunia ini jahat karena mereka punya Papa yang demikian. Efek perlakuan orangtua terhadap anak benar-benar tidak bisa diremehkan karena dapat mempengaruhi cara pandang mereka tentang orang lain maupun sekitarnya. Selain karakter Ava, P dan Papa mereka, ada juga karakter lain seperti Mama Ava, Mas Alri, dan Kak Suri yang terlibat dalam kehidupan mereka. P mempertanyakan banyak hal tentang Mama Ava yang juga membuatku ikut memikirkan alasan di balik keputusan sang Mama. Tidakkah seharusnya ia bisa bertindak lebih awal? Mengapa ia tidak segera memberontak dari perlakuan suaminya yang semena-mena? Sayangnya, buku ini tidak memberikan jawaban itu kepada pembaca karena kita hanya bisa melihat semuanya dari kacamata Ava—yang akhirnya membuatku sedikit kurang puas, seperti ada sesuatu yang tidak terselesaikan. Tidak hanya itu, misteri tentang keluarga P baru diungkap menjelang akhir cerita dan tidak ada kesempatan untuk tahu apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin penulisnya sengaja membiarkan imajinasi pembaca yang menebak kelanjutannya setelah kisah ini berakhir.
"Skeptis, maksudnya, kamu berhenti percaya pada terlalu banyak hal. Kamu berhenti percaya kalau di dunia ini ada hal yang baik. Ada Papa yang baik, ada orang yang baik, ada nasib yang baik. Kamu berhenti percaya kalau nggak perlu mati dan bereinkarnasi untuk bisa hidup bahagia."
Kisah Ava dan P membuatku membayangkan luka batin dan trauma yang dialami oleh anak-anak yang diperlakukan tidak layak oleh orangtuanya. Terkadang orang dewasa tidak begitu memikirkan perasaan anak kecil, padahal perlakuan mereka dampaknya sangat besar untuk pertumbuhan serta pemikiran anak tersebut. Meskipun aku cukup menikmati buku ini dari awal hingga akhir, aku secara pribadi berharap ceritanya berakhir dengan penuh harapan—bahwa ada sesuatu yang baik menanti Ava dan P di akhir perjalanan mereka. Terlepas dari beberapa hal yang kurang memuaskan untukku, aku yakin ini bukan terakhir kalinya aku membaca karya Ziggy karena sepertinya novel yang lain pun sepertinya tidak kalah menarik dibanding yang ini 😊.
"Kata Kakek Kia, semua hal terjadi karena suatu alasan. Ada alasan di balik semua kejadian. Jadi, dalam setiap tindakan juga seharusnya ada alasan. Mungkin saja, alasannya tidak kita ketahui, atau tidak kita sadari. Tapi, alasan itu ada."
by.stefaniesugia♥ .
 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...